LINGGA PIKIRAN RAKYAT - Di gerbang abad ke-12, pemikiran Islam diwarnai dengan perdebatan filosofis yang sengit. Di tengah dominasi pemikiran peripatetik Avicenna, muncullah Shihab Al Din Al Suhrawardi, seorang filsuf Persia yang membawa angin segar melalui karyanya yang monumental, Hikmat al-Ishraq atau Filsafat Pencerahan.
Cahaya sebagai Metafora Pengetahuan
Berbeda dengan pemahaman cahaya sebagai fenomena fisik semata, Suhrawardi mentransformasikannya menjadi metafora yang kaya makna. Cahaya, baginya, adalah simbol kebenaran dan pengetahuan. Melalui lensa iluminasi ini, ia membuka jalan menuju sistem filosofis yang revolusioner, menantang paradigma pemikiran yang mapan pada masanya.
Kritik terhadap Pemikiran Peripatetik
Suhrawardi, yang juga dikenal sebagai "Shaikh al-Ishraq" atau "Master of Illumination", memposisikan diri sebagai kritikus terhadap pemikiran peripatetik yang didominasi oleh Avicenna. Ia mempertanyakan keterbatasan akal budi dalam menggapai pengetahuan sejati dan menekankan pentingnya intuisi dan pengalaman batin.
Menghidupkan Kembali Kearifan Kuno Persia
Lebih dari sekadar kritik, Hikmat al-Ishraq merupakan upaya Suhrawardi untuk menghidupkan kembali tradisi kebijaksanaan kuno Persia. Ia memadukan pemikiran Islam dengan elemen-elemen Zoroastrianisme dan Neoplatonisme, menghasilkan sebuah sintesis filosofis yang unik dan kaya.
Menjelajahi Tingkatan Cahaya
Dalam karyanya yang gemilang ini, Suhrawardi mengantarkan pembacanya pada petualangan intelektual yang memukau. Ia menggambarkan berbagai tingkatan cahaya, mulai dari cahaya kasar yang terkait dengan dunia material, hingga cahaya halus yang menuntun ke realitas spiritual dan ilahi.