Menelusuri Jejak Tradisi Malam Tujuh Likur: Warisan Budaya Melayu di Kepulauan Riau

- 3 April 2024, 16:08 WIB
Tradisi malam 7 likur di Kepulauan Riau
Tradisi malam 7 likur di Kepulauan Riau /istimewa/

LINGGA PIKIRAN RAKYAT - Di jantung Kepulauan Riau, tradisi memikat terbentang selama pekan terakhir Ramadan – Malam Tujuh Likur. Kebiasaan yang dijunjung tinggi ini, berakar kuat dalam warisan Melayu, mengubah malam biasa menjadi pemandangan memukau dari cahaya yang berpendar dan doa yang khusyuk.

Permadani Cahaya yang Berkilauan

Saat matahari terbenam, rumah-rumah di seluruh penjuru kepulauan menjadi hidup dengan cahaya hangat dari lampu minyak tradisional yang disebut 'pelita'. Bayangkan barisan nyala api kecil ini berjejer di sepanjang jalan dan menghiasi pintu rumah, menciptakan permadani cahaya yang memikat, memandikan komunitas dalam cahaya keemasan yang lembut. Jumlah pelita terus bertambah setiap malam, hingga mencapai puncaknya pada malam ketujuh, inti dari tradisi ini.

Sepekan untuk Refleksi Spiritual

Malam Tujuh Likur bukan hanya tentang keindahan visual. Ini menandakan peningkatan rasa refleksi spiritual selama minggu terakhir Ramadan, waktu yang diyakini penuh berkah. Keluarga berkumpul untuk sholat dan berbagi makanan tradisional, menumbuhkan rasa kebersamaan dan kekomunitasan.

Baca Juga: Lebih Dari Sekedar Tempat Tinggal: Memahami Makna di Balik Rumah Melayu Lingga

Gema dari Sejarah

Asal-usul pasti Malam Tujuh Likur masih terselubung kabut waktu. Beberapa orang percaya itu berasal dari kebutuhan akan penerangan tambahan selama malam-malam yang lebih panjang menjelang Idul Fitri. Yang lain melihatnya sebagai cara simbolis untuk "menerangi jalan" bagi doa dan berkah agar sampai ke langit. Terlepas dari asalnya, tradisi ini telah menjadi bagian integral dari budaya Melayu, diturunkan dari generasi ke generasi.

Perayaan Komunitas

Halaman:

Editor: Akhlil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini